Menumbuhkan Sikap Empati pada Anak

Empati merupakan kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan orang lain, turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Kita semua mempunyai empati, bahkan bayi baru lahir sekalipun. Hanya saja kita perlu belajar menyambungkannya untuk membuatnya bekerja.

Empati memfasilitasi koneksi kita pada orang lain. Cara awal bayi merasakan kepercayaan, kelekatan dan belajar empati adalah melalui kontak mata, ekspresi wajah, juga nada suara. Awal mulanya anak akan mencocokkan emosi dan suasana hati ibunya, kemudian kepada orang lain. Apa yang dirasakan  oleh ibu, juga dirasakan anak, lalu akan dia tiru.
Orang tua memiliki tanggung jawab yang besar, karena merekalah teladan utama dari empati dan harus mempraktikkan menjadi empatik juga. Anak-anak adalah peniru ulung. Apa yang mereka lihat dan alami di rumah, penting bagi pengembangan empati mereka.

Keluarga bisa merusak kemampuan berempati seorang anak, jika dalam keluarga tersebut anak-anak mengalami kekerasan fisik, seksual dan psikologis. Trauma akan kasih sayang ini akan merusak kapasitas empatinya. Jenis keluarga lain yang juga bisa merusak empati anak adalah keluarga yang terlalu melindungi. Yang mana orangtua takut membiarkan anaknya gagal atau merasakan emosi yang besar, lalu melakukan semua hal untuk menghindari konflik dan mememuhi setiap keinginan anak. Hal ini akan menghalangi kemampuan anak untuk membaca emosi orang lain yang bisa menurunkan kapasitas empati mereka. Anak-anak dari keluarga jenis ini cenderung tumbuh menjadi keluarga yang narsistik, cemas dan depresi.

Lalu, bagaimana upaya yang bisa orangtua lakukan dalam menumbuhkan sikap empati pada anak?

  1. Memahami, tidak menghakimi orang lain
Kata-kata yang orangtua gunakan, atau kisah yang kita cerirakan mengenai orang lain amat penting untuk mengajari anak bagaimana mereka bisa berempati.

Tunjukkan kualitas karakter baik anak lain di depan anak-anak kita. Contohnya: 'Kakak itu baik ya, benar kan?'  atau 'Dia suka memberi. Menurutmu juga gitu kan?', dll.
Dengan demikian kita telah menempatkan fondasi untuk membiasakan melihat kebaikan orang lain pada masa mendatang.

Apabila melihat hal negatif pada anak lain, coba jelaskan kemungkinan alasan anak tsb bertingkah tidak menyenangkan. Contohnya: 'Dia mungkin sudah lelah dan mengantuk' atau 'Menurutmu, apa dia sedang lapar?',dll. Arahkan anak kita untuk melihat perilaku negatif anak lain tsb karena dipengaruhi lingkungan, dan tidak melabel anak tsb sebagai anak nakal, egois, pemarah, dll.

2. Mengenalkan dan Membantu anak untuk memberi nama emosi-emosi dengan kata-kata.
Menggunakan banyak nama seperti tegang, takut, cemas, marah, sedih, takut, jengkel, dll untuk membantu anak merumuskan masalahnya. Ketika anak sedang merasa sedih, marah, takut, ada baiknya orangtua mencoba meletakkan diri kita dalam posisi mereka, untuk melihat dunia dari sudut pandang mereka. Ketika itu terjadi, kita orangtua sedang mengalami empati, yaitu landasan dalam pelatihan emosi.

3. Menunjukkan emosi orang lain kepada anak
Contoh: 'Kelihatannya dia marah. Menurutmu mengapa dia marah?' atau 'Kamu lihat dia menangis? Menurutmu mengapa dia menangis?'
Bukan,
'Kok gitu aja marah sih dia. Konyol sekali' atau 'Jangan nangis seperti dia, cengeng banget'.

4. Membacakan cerita
Membacakan cerita dapat meningkatkan level empati mereka.  Termasuk buku-buku yang menggunakan semua emosi, baik emosi positif, negatif, dan yang tidak nyaman.

5. Mendengarkan dengan penuh empati dan menegaskan perasaan-perasaan anak.
Orang tua menggunakan imajinasi dan hati mereka untuk memposisikan diri mereka pada situasi yang dirasakan anak. Menenangkan, tidak mengecam, dan membantu anak menamai emosi-emosi mereka.

6. Tidak memaksa anak menenangkan anak lain
Misalnya: A mempunyai bola dan sedang mamainkannya. B menginginkan bola tersebut dan menangis. A tidak mau meminjamkannya. Biasanya orangtua A akan meminta A mengasihani B, dan memaksa meminjamkan bolanya. Ini tidak adil dan tidak empatik. Kedua belah pihak harus merasakan empati dan belas kasihan dari orang tua. Ini juga mengajarkan B bahwa tidak semua keinginan dapat diperoleh dengan mengangis.

Yang bisa dilakukan orangtua A adalah setelah membiarkan anak-anak mencoba mencari solusi, kemudian menawarkan jika A mau berbagi. Seandainya tidak mau, bisa dibuat kesepakatan, setelah A selesai dengan mainannya, B bisa pinjam, lalu A main mainan yang lain.

Ini juga mengajarkan anak bahwa dia tidak bisa dipaksa hanya untuk menenangkan orang lain. Kelak, ketika remaja, saat mengalami tekanan teman sebaya yang salah, dia akan mampu membela diri untuk apa yang dirasa benar, karena dia telah diberitahu bahwa perasaan mereka valid sejak kecil.

Dengan sikap empati dapat menurunkan angka perundungan (bully), meningkatkan kapasitas untuk memaafkan juga memperbaik kedekatan hubungan sosial. Mengajarkan anak empati, mungkin memang hasilnya belum terlihat sekarang, karena ini adalah proses jangka panjang. Yang mungkin akan kita orang tua rasakan saat ini adalah muncul pula rasa empati pada diri kita terhadap orang lain. Menjadi tidak mudah menghakimi orang lain. Misalnya ketika melihat pola asuh kita berbeda dengan orang lain, tak lantas menghakimi bahwa  cara mereka salah, karena kita tak tahu kondisi masing-masing keluarga. Ingat kata pepatah, Raising our children raising our selves. Saat kita mendidik anak berempati, sebenarnya kita juga mendidik diri kita sendiri untuk lebih empatik kepada orang lain.


Sumber:
Jessica, J. A. & Iben, D. S. 2018. The Danish Way of Parenting. Penerjemah: Ade Kumalasari & Yusa Tripeni. Bandung: Mizan Media Utama.

John Gottman, Ph. D. & Joan Declaire.1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdesan Emosional. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Komentar

Postingan Populer