Tak Mengapa Balita Kita belum Mau Berbagi

gambar: nakita.grid.id

Sering melihat anak kita atau batita/balita lain berebut mainan, makanan atau barang lain? Lantas apa yang biasa kita orang dewasa lakukan? Menyuruh bahkan memaksa anak kita untuk berbagi barang tersebut pada anak lain? Ya, konon demi membiasakan anak untuk berbagi sejak dini, atau lebih buruk lagi demi citra diri orang tua agar dianggap telah mendidik anak dengan baik (anak mau berbagi) kita rela mengorbankan hak-hak anak kita. Padahal mah ya, kita sendiri saat orang lain meminta atau meminjam barang milik kita, apa kita selalu memberi ijin? Nggak selalu kan? Jadi mengapa kalau anak-anak harus mau berbagi? Sungguh tidak realistis.

Saya juga sering mengalami hal begini. Terutama semenjak Salma menginjak usia 2 tahun. Kata-kata penolakan seperti "Ini punyaku, nggak boleh, punya Salma", dll seringkali terlontar saat ada anak lain mencoba merebut, meminjam atau meminta barangnya. Beruntung dulu saya pernah mendapat kulwap dengan narasumber Ust Adriano Rusfi tentang fase Egosentris. Bahwa menurut beliau di usia 0-7 tahun adalah fase egosentris anak. Biarkan anak untuk belajar mempertahankan haknya. Sebelum ia berumur 7 tahun biarkan ia bicara tentang hak-haknya. Belajar mempertahankan haknya, tidak mudah menyerah, tidak mudah melepaskan properti pribadinya. Agar ia kelak tidak mudah saja properti pribadinya, melepaskan keperawanan, kegadisan, dll. Didik anak dari awal untuk punya ego.

Menurut John Gottman konsep berbagi memang tidak akan bermakna untuk mereka. Mengingat "aturan-aturan kepemilikan anak kecil", yaitu: (1) Bila aku melihatnya, barang itu milikku; (2) Bila barang itu milik kamu dan aku menginginkannya, barang itu menjadi milikku; dan (3) Bila barang itu milikku, barang itu milikku selamanya. Sikap-sikap ini merupakan ungkapan makna diri yang sedang berkembang. Anak-anak usia ini (1-3th) hanya dapat memikirkan sudut pandang mereka sendiri dan tidak memahami bahwa orang lain memiliki perasaan yang berbeda. (1997: 228)

Tidak meminta/memaksa anak untuk berbagi bukan berarti kita tak mengajarkan anak untuk peduli pada perasaan orang lain ya. Justru kita sedang mengajarkan sikap empati kepada kedua belah pihak. Memaksa anak untuk berbagi saat anak lain meminta, itu tidak adil dan tidak empatik baginya. Selain itu dengan tidak memaksa anak untuk berbagi, itu juga mengajarkan pada anak lain tsb bahwa tidak semua keinginannya harus terpenuhi.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan saat anak menolak berbagi? Pertama, biarkan dulu mereka mencoba mencari solusi bagi mereka sendiri. Jika tidak memungkinkan diselesaikan antar anak, orangtua dapat mencoba mengenalkan konsep bergantian atau bergiliran. Tawarkan kesepakatan, setelah anak kita (A) bermain dengan mainannya, kemudian anak lain (B) boleh pinjam, sedang A memulai aktivitas lain. Apabila A tetap tidak bersepakat, beri dia petunjuk: “Bilanglah pada temanmu bahwa kamu sedang tidak mau meminjamkan mainanmu.” Kalau B merebut dan ngotot tidak mau mengembalikan meski A sudah bicara baik-baik, kita yang sebaiknya turun tangan. Sampaikan pada si B: “Tante ngerti kamu ingin pinjam mainan ini, tapi sekarang A sedang tidak mau meminjamkan, jadi kembalikan dulu ya!” Dan pastikan mainan itu dikembalikan pada A.

Konflik semacam ini akan selalu ada dalam dunia kanak-kanak. Tetapi demi kewajaran, kita bisa meminimalisir terjadinya peristiwa semacam ini dengan cara: misal kita akan bepergian ke rumah teman, tempat bermain, dll, jelaskan ke anak bahwa dia hanya boleh membawa mainan jika ini berniat membagi mainan tersebut. Atau bila kita sedang menanti kedatangan teman-teman bermain di rumah kita, biarkan anak memilih beberapa mainan istimewa yang tidak boleh dipinjamkan kepada tamu-tamu tersebut. Ini demi kewajaran saja, kalau kita tidak mau risih dikomentari orang.


Mengajarkan anak mempertahankan haknya, bisa berdampak baik jangka panjang. Kita telah mengajari anak kita untuk memegang kendali dan tidak bisa dipaksa melakukan sesuatu demi menyenangkan orang lain. Kelak ketika dia mendapat tekanan dari orang lain, dia akan lebih cepat membela diri jika dia merasa benar.


Bagaimana jika yang tejadi sebaliknya? Anak kita yang meminta atau merebut mainan anak lain? Tegaskan pada anak kita bahwa mainan tersebut bukan milik dia. Jika ingin meminjam harus minta izin dulu. Bicara pada anak: “Ini mainan si B, kan? Kamu pengen pinjam?” Bila anak mengangguk ajari dia: “Coba tanyakan padanya, apakah kamu boleh pinjam!” 

Kalau ternyata si B tidak mau meminjami, maka sampaikan pada anak: “Berarti kamu harus kembalikan dulu mainan ini ya, tunggu sampai B mau meminjami.” Pastikan mainan itu dikembalikan. Mungkin anak kita bakal menangis atau malah tantrum. Tak mengapa.  Memang tak semua keinginan anak harus terpenuhi. Validasi emosi anak saat dia menangis atau tantrum. Dan tetap, sebelum dizinkan, anak kita tidak boleh memaksa.

Bagaimana itu validasi emosi? bisa dibaca di sini ya Menjadi Orang Tua Pelatih Emosi

Sebelum mengajarkan konsep berbagi ajarkan dulu konsep kepemilikan ini di rumah. Anak nggak tahu apa yang bisa dia bagi,  kalau dia tidak tahu apa yang dia miliki. HPni milik Papa/Mama, tas ini milik Salma, alat tulis ini milik Salma, ini handuk Papa/Mama, ini jilbab mama, dsb. Biasakan bila ingin memakai atau meminjam harus meminta izin pemiliknya dulu. Tak hanya anak, orangtua pun harus meminta izin dulu saat hendak meminjam kepunyaan anak atau pasangan, memakan makanan anak/pasangan, memajang photo anak/pasangan di media sosial, dll. Ini tantangan juga buat saya pribadi. Karena terbiasa srobat-srobot, kadang malah saya sendiri yang ditegur anak. Misal saya suka pakai sandal jepit suami tanpa ijin, atau memakai kaos oblong suami saat dia tidak di rumah, dll. Siap-siap saja diprotes anak,"Kok mama pakai bajunya papa?" Nah lho, gagap deh mamak jawabnya. Jadinya lain waktu saya lebih hati-hati dan ingat-ingat nggak boleh main srobot, harus minta ijin dulu yang punya. Salma sendiri juga belum sempurna sih. Kadang dia sudah mengambil barang tertentu baru bilang "pinjam". Tapi setidaknya dia sudah mulai paham konsep kepemilikan. Tinggal orangtua juga harus konsisten memberi contoh, selalu ingat untuk minta ijin dulu kalau mau pinjam.

Ternyata perihal menghormati hak anak ini, telah dicontohkan oleh suri tauladan kita Rasulullah Saw. Melalui tindakan dan ucapannya beliau telah meneladankan kepada kita bagaimana menghormati hak anak. Ada sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:
Dari Sahl bin Sa'ad r.a, Rasulullah Saw pernah disuguhi minuman. Beliau meminumnya sedikit. Di sebelah kanan beliau ada seorang bocah dan di sebelah kiri beliau duduk pada orangtua. Beliau bertanya kepada si anak, "Apakah engkau rela jika minuman ini aku berikan kepada mereka? Si anak menjawab,"Aku tidak rela, ya Rasul Allah, demi Allah aku tidak akan memperkenankan siapapun merebut bagianku darimu." Rasulullah Saw meletakkan minuman itu ke tangan anak kecil tersebut (HR. Bukhori dan Muslim).
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini adalah,"Rasulullah Saw memelihara hak si anak dengan menyuguhkan minuman terlebih dahulu kepadanya karena ia berada di samping kanan beliau. Ini adalah bentuk pendidikan yang menjadikan anak seakan berada dalam jajaran para orangtua dari segi perolehan hak. Ketika anak telah merasa mengambil haknya, perasaan cintanya kepada Rasulullah Saw akan bertambah dan keimanan kepada risalah beliau akan semakin kokoh", tutur Najib Khalid al-Amr dalam Min Asalibir Rasul Saw Fit Tarbiyah.
Menurut M. Fauzil Adhim,  cara bersikap seperti ini membuat anak merasa berharga dan memiliki citra diri yang baik. Tidak pula memandang orang dewasa dan lingkungan pada umumnya sebagai sumber ketakutan. Selanjutnya anak akan memiliki konsep diri yang positif sehingga mampu mengembangkan potensinya secara optimal (2009: 87)

Sumber bacaan:

Adhim, M. Fauzil. 2009. Saat Berharga Untuk Anak Kita. Yogyakarta: Pro-U Media.


Alexander, J. J. & Iben, D. S. 2018. The Danish Way of Parenting. Penerjemah: Ade Kumalasari & Yusa Tripeni. Bandung: Mizan Media Utama.


Gottman, John Ph. D. & Joan Declaire.1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdesan Emosional. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Kristi, Ellen. 2018. Ketika Anak Egois dan Tak Mau Berbagi. http://cmindonesia.com/ketika-anak-egois-dan-tak-mau-berbagi/






Komentar

Postingan Populer