Memberi Pujian dengan Tepat

Sumber gambar: wartapilihan.com

Mungkin kita sudah sering mendengar atau membaca, bahwa dalam memberikan pujian kepada anak, sebaiknya kita memuji usahanya, bukan hasil atau karakteristik orangnya. Tapi alasannya kenapa ya? Memangnya salah memuji anak dengan pujian 'pintar, cerdas, genius', dsb? Bukankah itu sudah lumrah? Lumrah belum tentu benar ya. 😁

Sekitar 3th yang lalu pernah membaca sebuah artikel di blog berjudul "Tolong, Jangan bilang anakku pintar". Tulisan ini mengacu pada sebuah artikel tentang fixed mindset vs growth mindset. Yang merupakan hasil penelitian tiga dekade seorang psikolog Stanford, Carol Dweck yang dipublikasikan dalam buku berjudul Mindset: The New Psychology of Success. Ilmu baru kala itu, namun kini setelah belajar parenting dari berbagai sumber, hampir semua menyatakan hal yang sama, yang juga mengacu pada penelitian Dweck tsb.

Dweck meneliti efek jenis pujian dengan cara pandang anak-anak terhadap kecerdasan mereka. Satu kelompok dipuji dengan 'kepintarannya' seperti cerdas, berbakat, jenius. Kelompok ini mengembangkan apa yang dinamai fixed mindset (pola pikir permanen). Kelompok lain dipuji atas usahanya. Yang ini akan memiliki growth mindset (pola pikir berkembang).

Fixed Mindset (FM)
Dengan memuji kepintarannya, kita menyiratkan bahwa mereka harus selalu mempertahankan label "anak pintar" tsb, sehingga mereka takut mencoba terlalu keras dalam melakukan sesuatu yg membuat mereka akan berbuat salah atau terlihat 'tidak pintar/bodoh'. Mereka percaya bahwa jika sudah punya kemampuan, maka tak perlu melakukan banyak usaha. Pujian jenis ini mengkomunikasikan pada anak bahwa sifat dan kepribadian adalah permanen yang merupakan sifat bawaan. Mereka hanya peduli bagaimana mereka akan dinilai yaitu: cerdas/ tidak cerdas. Anak-anak ini akan mudah frustasi ketika mengalami kegagalan, juga tidak berani mengambil resiko.

Growht Mindset (GM)
Anak yg dipuji atas upayanya akan memiliki Growth Mindset. Kita mengkomunikasikan pada anak bahwa mereka adalah seseorang yang tumbuh dan berkembang, dan kita tertarik melihat perkembangannya. Anak-anak tipe ini cenderung peduli pada proses pembelajaran. Mereka terdorong untuk fokus pada usaha daripada kepintaran, sehingga akan melihat usaha sebagai suatu yang positif. Hal inilah yang melambungkan kecerdasan serta membuat mereka lebih berkembang. Mereka akan segera bangkit ketika gagal, meningkatkan usaha dan mencari strategi belajar yang baru.

Memuji Yang Efektif
Lalu bagaimana cara efektif untuk memuji anak yang sudah melakukan kebaikan? Berikut adalah cara memuji efektif menurut Okina Fitriani (Enlightning Parenting: 29-30):
1. Puji Perilaku, usaha dan sikapnya. Hal ini menanamkan pada anak bahwa perilaku bukanlah bersifat bawaan yang melekat dan permanen, namun merupakan hasil usaha dan anak memiliki kendali atas perilakunya.
2. Nyatakan konsekuensi positif dari perilaku tersebut. Ini mengajarkan pada anak untuk memahami sebab akibat dari sebuah perbuatan.
3. Nyatakan dalam kalimat yang mudah dipahami.
4. Tanamkan keimanan untuk siapa/apa dia memelihara perilaku tsb. Hal ini untuk menumbuhkan keyakinan bahwa perilaku baik bukan sekedar untuk menyenangkan orang tua, tetapi merupakan bagian dari tujuan penciptaan manusia.

Contoh Pujian Yang Efektif:
“Wah, terimakasih ya Nak, sudah mau membuang sampah pada tempatnya. Rumah jadi bersih. Allah suka pada kebersihan”.
“MasyaaAllah, kakak sudah mau membantu bunda mengiris sayuran. Bunda jadi terbantu dan cepat memasaknya. Allah sayang sama anak yang membantu orangtuanya”.
dsb.

Contoh Pujian Yang Tidak Efektif
“Waah, kakak hebat, pinter banget. Sudah bisa pakai baju sendiri. Keren banget emang anak Bunda”. (Memuji karakteristik orangnya dan berlebihan)
“Waw, adek hebat sekali sudah bisa merapikan kamar. Nggak seperti biasanya kamar berantakan dan jorok”. (Memuji disertai dengan mengungkit kesalahan masa lalu.

Saya pribadi dan suami sepakat untuk masalah ini. Kami mendapat ilmu ini sebelum Salma lahir. Jadi ketika punya anak langsung bisa kami praktikkan, dan ini bukanlah hal sulit bagi saya (tak sesulit mengendalikan emosi 😂). Namun, tentunya kita nggak bisa mengendalikan semua orang untuk memuji anak kita dengan pujian yang efektif. Selalu saja ada yang memuji “pinter” atau semacamnya. Biasanya kalau ada semacam ini, lalu saya bisikin ke Salma pujian yang efektif. Misal saat dia sudah mau buang sampah di tempat smpah, kemudian ada yang memuji “pinter”, kalau memungkinkan atau saya berada di dekatnya akan saya bisikin “Salma sudah mau buang sampah di tempat sampah. Makasih ya. Rumahnya jadi bersih”. (kadang emang nggak memuji secara lengkap juga sih. hehe).

Konon, pak suami sendiri mengaku merupakan contoh nyata dari dampak buruk pujian pada hasil (kepintarannya). Biasa dilabel “pintar” saat kecil membuat dia enggan mencoba sesuatu karna takut berbuat salah dan akan dilabel ‘tidak pintar”. Saya juga sih, walaupun kalau saya faktor pemicunya (jadi takut mencoba) banyak ya, nggak cuma karena label saja.hehehe.

Pujian, label positif, atau apresiasi, sepertinya hal yang biasa dan baik diberikan pada anak. Namun, alih-alih mendapat manfaat positif, memuji/ melabel/ mengapresiasi dengan cara yang tidak tepat justru membawa dampak buruk buat anak.

Jauh sebelum ilmu psikologi berkembang, kita telah banyak diingatkan oleh Rasulullah akan dampak buruk memuji berlebihan. Orang akan menjadi sombong Dan takjub pada diri sendiri. Bahkan di dalam hadits, memuji diibaratkan memenggal leher orang yang kita puji.



Sumber bacaan:
Alexander, Jessica Joelle dan Iben Dissing Sandahl. The Danish Way of Parenting. 2018. Penerjemah: Ade Kumalasari dan Yusa Tripeni. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Fitriani, Okina dkk. The Secret of Enlightening Parenting. 2017. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Budiani, Arum. “Tolong jangan bilang anakku ‘pintar’”. http://ourlearningfamily.blogspot.com/2015/05/tolong-jangan-bilang-anakku-pintar.html

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer