Puasa Medsos Demi Kewarasan Jiwa

"Semua anak unik, punya potensi masing-masing. Nggak perlu membandingkan anak satu dengan yg lain". Sebuah jargon yang sedari awal saya sangat yakini, saya pegang teguh, namun ternyata perlahan saya sadari hal itu belum merasuk sampai ke hati. Karena pada kenyataannya tak jarang  saya masih membandingkan anak sendiri dengan yang lain. Baik secara terang-terangan maupun samar.
.
Melihat satu ibu memposting anaknya bisa begini begitu, ciut hati saya, anakku kok belum. Membaca postingan ibu lain anaknya sudah mandiri, ini itu bisa sendiri, hati makin kecut, anakku belum bisa. Melihat uploadan video ibu lain lagi anaknya makan lahap semua masuk, sayur pun oke, terbersit iri, anakku makan sayurnya pilih-pilih. Membaca status ibu lain lagi, anaknya manis penurut tak pernah tantrum, langsung nglirik anak sendiri yg sering berkemauan keras kadang tak mau nurut bahkan sampai teriak-teriak. Daaann sederet kisah-kisah lain yang sengaja maupun tidak telah membuat saya membandingkan anak sendiri dengan anak orang lain. Bahkan tanpa mau tau proses seperti apa yang telah dilakukan ibu-ibu tsb. Taunya hasilnya begitu, dan anakku belum.
.
Entahlah mungkin hanya saya seorang saja yang jadi suka membandingkan anak sendiri karena postingan orang. Tapi berkaca dari situ, juga melewati berbagai proses dan peristiwa, perenungan, introspeksi, saya berniat untuk tak lagi menjadikan anak sebagai konten postingan. Menulis, mengedukasi, bernarasi akan tetap jalan, karena itu sudah jadi salah satu sumber kebahagiaan saya. Tapi, untuk selalu menjadikan anak konten postingan, saya rasa nggak akan lagi. Sesekali, atau saat memang membutuhkan contoh peristiwa, photo kegiatan, contoh percakapan, bolehlah. Tapi selalu mengumumkan ke jagad medsos bagaimana anak saya, apa saja aktivitasnya, kelebihan-kelebihannya, apa yang saya lakukan untuknya, dll, nggak akan. 😂
.
Saya melihat banyak juga tokoh parenting yang sangat inspiratif, informatif dan edukatif tanpa selalu menjadikan anak sebagai konten. Sesekali wajar ya menceritakan soal anak. Dan dari mereka saya sadar, mengedukasi soal parenting tak melulu harus dengan posting semua-mua tentang anak kita. Masih banyak cara lain, dan itu tidak mengurangi esensi dari ilmu yang mereka bagi.
.
Saya juga pernah berada dalam posisi, 'setiap' aktivitas anak harus diabadikan, diupload, diberi keterangan anaknya bisa begini, mau begitu dan lain-lain. Dengan dalih ingin memberi informasi, menginspirasi, berbagi kebaikan, dll. Tapi saya tilik lagi dalam hati saya, benarkah murni demikian niat saya? Tidakkah terbersit keinginan agar dunia melihat, anakku perkembangannya baik, aku telah mengasuh dengan baik, aku ibu yang rajin, dan semacamnya? Dengan malu dan jujur saya akui, ada. Aku lho ya ini, aku. Anda mungkin enggak.
.
Saya tak berhak mengatakan, menghakimi mereka yang suka posting anak itu adalah pamer. Nggak berani. Walaupun  ada pendapat yang ekstrim mengatakan, perilaku semacam itu (selalu memposting anak) termasuk eksploitasi anak, ingin mendapat pengakuan bahwa telah mendidik anak dengan baik, dsb. Kita tak pernah tau niat seseorang membagikan sesuatu di medsos. Untuk edukasi, menginspirasi, memberi informasi, ataukah hanya pamer. Apapun itu, saya tak berhak menghakimi. Setiap orang punya pemikiran dan pilihan cara masing-masing. Pun saya sendiri akhirnya memilih cara yang menurut saya nyaman. Tanpa memakai konten anak saja, niat masih saja mungkin terpeleset ke arah sombong, riya dan semacamnya.
.
Belum lagi di dalam agama saya, meyakini adanya penyakit ain. Yang itu nyata adanya. Pernah datang ke kajian yang khusus membahas ini. Dan ngeri ternyata ya. Mulai saat itu saya perlahan ngerem keinginan memposting foto anak, meski kadang masih juga sih. 😅

Saya juga meyakini, anak adalah pribadi utuh yang punya pikiran sendiri. Hanya karena dia masih kecil dan belum paham, tak berarti kita bebas melakukan sekehendak kita akan hidupnya. Barangkali saja setelah dia besar kelak, dia nggak suka segala yang dia lakukan dulu diumumkan oleh orang tuanya di jagad medsos. Saya coba bayangin gini, misal suami kita atau teman kita, selalu memfoto atau memvideo aktivitas-aktivitas kita, lalu mempoating ke medsos mereka,  tanpa seijin kita dulu. Risih nggak sih? Rela nggak? Kalau saya sih risih dan nggak ikhlas. Saya mencoba memposisikan diri menjadi anak. Barangkali  sama perasaannya kalau dia sudah paham. Meski, sering banget gatel pengen upload juga. Dan sesekali masih suka upload sih.

Saya juga sedang belajar, tidak semua tulisan harus dishare ke medsos. Ada yang layak dikonsumsi publik, ada yang sebaiknya menjadi ranah pribadi. Tidak sharing tulisan di medsos bukan berarti tidak menulis. Bisa jadi tulisan itu tertulis rapi di buku tulis, tersimpan rapi di aplikasi notes dll, menunggu diresapi kembali, direnungi, diejawantahkan (halah 😂). Pantaskah tulisan ini dibagi di medsos, adakah yang perlu diperbaiki, atau sebaiknya tetap rapi tersimpan untuk pribadi?

Saya tahu, mungkin banyak yang tidak sependapat dengan tulisan saya ini. Tak mengapa. Kita mengalami peristiwa, kejadian, pengalaman hidup yang berbeda, yang akhirnya membentuk pola pikir kita. Ini saya tuliskan sekedar mengeluarkan apa yang mengganjal di hati, setelah melalui perenungan yang lama, pengamatan, refleksi dan introspeksi. Monggo mau menyebarkan inspirasi positif dengan cara masing-masing. Toh tinggal skip saja sekiranya ada konten yang membuat saya (atau pembaca) tidak nyaman. Atau lebih ekstrim lagi unfollow atau bahkan uninstall medsos.hehe. Demi menjaga kewarasan tak lagi melihat kesempurnaan kehidupan orang lain. Lemah saya mah orangnya. Barangkali ini juga salah satu alasan yang melatarbelakangi saya meng-uninstall salah satu aplikasi medsos yang paling sering saya pakai. Mulai nggak nyaman, membuat pikiran gelisah dan overthinking.

Ah, tapi mungkin hati saya saja yang keruh, masih dipenuhi pikiran negatif, banyak penyakit hati, tak pandai bersyukur. Bisa jadi. Entahlah. Lakukan saja apa yang sekarang diyakini. Bisa jadi esok, lusa, mendapat pengalaman baru, pembelajaran baru yang mengubah lagi cara pandang saya. Mungkin saja.

Namun ternyata, puasa medsos membuat saya lebih banyak melakukan kegiatan produktif membaca buku, berolahraga, menjahit, sesekali menulis. Dan ini bagus buat jiwa saya. Tidak seemosional saat rajin medsosan. Karena saat rajin membuka media Sosial ada perasaan kurang nyaman, hasad, iri dengan postingan orang lain. Waktu terbuang sia-sia, lalu merasa bersalah, merasa nggak produktif, merasa nggak berguna lali akhirnya semua emosi dimuntahkan ke suami dan anak.

Komentar

Postingan Populer