Menjadi Orangtua Pelatih Emosi

Anak-anak kecil itu cepat move on. Mereka dilengkapi secara psikologis dengan harapan yang melimpah, bahkan sampai taraf irrational, membuat anak tidak terlalu lama larut dalam emosi negatif. Dengan dibantu mengenali emosinya sendiri, anak akan cepat move on. Semakin dini dilatih emosinya, makin cepat move on. Begitu kiranya kata Mba Ellen Kristi dalam sebuah workhshop bertajuk Habit of Obedience & Way of The Will yang saya ikuti.

Anak-anak yang dilatih emosinya oleh orang tua mereka tetap akan mengalami sedih, takut, atau marah dalam keadaan yang sulit, tetapi akan lebih mampu menenangkan diri mereka sendiri, bangkit kembali dari kesedihan, dan melanjutkan kegiatan-kegiatan yang produktif. Bisa dikatakan mereka lebih cerdas secara emosional.

Namun pada kenyataannya, banyak orangtua yang meremehkan dan menganggap tidak penting emosi anak mereka. Kemudian mereka mengalihkan perhatian untuk menutup emosi-emosi negatif anak. Bahkan ada pula orangtua yang memarahi atau menghukum anaknya, ketika anak mengungkapkan emosi-emosi negatif mereka. Menganggap emosi-emosi negatif itu mencerminkan perilaku buruk dan harus dihentikan agar anak-anak itu tahan banting, tidak cengeng.

Contoh yang biasa terjadi sehari-hari adalah, misalnya ketika anak jatuh, lecet kakinya. Maka yang biasa kita ucapkan adalah "Udah nggak papa, lecet sedikit aja, nanti juga sembuh", atau "Udah diem, gitu aja nangis, anak jagoan nggak boleh nangis", kemudian ketika anak tetap menangis, kita mengalihkan perhatiannya ke hal-hal yang menyenangkan bagi anak. Seperti, "Nanti kita beli es krim ya", "Eh, itu ada ayam lari, yuk kejar", dll. Jika kita perhatikan baik-baik, kalimat-kalimat itu adalah penyangkalan dari orang orangtua. Orangtua tidak memosisikan diri mereka pada situasi yang dialami anak. Mereka menyamakan orang dewasa yang sudah banyak pengalaman hidupnya dengan anak-anak yang sedang belajar kehidupan. Anak merasa sakit, kita bilang nggak papa. Anak mungkin tahunya bahwa sakitnya bakal lama sembuhnya, kita bilang bentar lagi juga sembuh. Dan kita tidak menyelesaikan emosi anak, tapi mengalihkan emosinya.

Dampak dari sikap orang tua ini menjadikan anak-anak belajar bahwa perasaan-perasaan mereka itu keliru, tidak tepat, atau tidak sah. Bisa jadi mereka belajar bahwa sudah 'dari sananya'  ada sesuatu yang salah dengan mereka karena cara mereka merasa. Bisa jadi mereka menghadapi kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap orang tua untuk melatih emosi anak-anak mereka? Menurut John Gottman dan Joan DeClaire dalam bukunya Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, kuncinya adalah pada rasa empati orangtua. Kita berusaha memahami pengalaman anak kita, berusaha untuk tidak meremehkan dan mengecam mereka. Maka mereka akan merasa didukung, tahu bahka kita berada di pihak mereka, dan mereka akan membiarkan kita masuk ke dunianya.

"Empati itu hanyalah kemampuan untuk menempatkan diri anda sendiri dalam kedudukan anak anda dan memberi tanggapan sesuai dengan itu" (hal 73).

Menurut John Gottman, Langkah-langkah yang dapat digunakan orangtua untuk memupuk empati sekaligus meningkatkan kecerdasan emosional anak-anak itu antara lain:
1. Menyadari emosi anak. 
Ketika anak sedang merasa sedih, marah, takut, ada baiknya orangtua mencoba meletakkan diri kita dalam posisi mereka, untuk melihat dunia dari sudut pandang mereka. Ketika itu terjadi, kita orangtua sedang mengalami empati, yaitu landasan dalam pelatihan emosi. 
2. Mengenali emosi sebagai peluang untuk menjadi kedekatan dan mengajar. 
Dengan mengakui emosi-emosi anak, kita membantu mereka belajar keterampilan - keterampilan untuk menghidur diri mereka sendiri, yang mana akan berguna seumur hidup mereka. 
3. Mendengarkan dengan penuh empati dan menegaskan perasaan-perasaan anak. 
Orang tua menggunakan imajinasi dan hati mereka untuk memposisikan diri mereka pada situasi yang dirasakan anak. Menenangkan, tidak mengecam, dan membantu anak menamai emosi-emosi mereka. 
4. Membantu anak untuk memberi nama emosi-emosi dengan kata-kata. 
Menggunakan banyak nama seperti tegang, takut, cemas, marah, sedih, takut, jengkel, dll untuk membantu anak merumuskan masalahnya. Dengan cara itu membantu anak mengubah suatu perasaan yang tidak jelas, tidak nyaman dan menakutkan menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, mempunyai batas-batas dan merupakan hal wajar dalam kehidupan sehari-hari. 
5. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah. 
Ketika sedang marah atau tantrum, anak sering tidak terkendali, misalnya merusak mainan, menyakiti diri sendiri atau orang lain. Orangtua perlu membimbing agar anak memikirkan cara yang lebih tepat untuk mengatasi perasaan negatif.

Sebelum mengenal istilah pelatihan emosi ini, saya sudah pernah membaca artikel mengenai validasi emosi. Sama saja sebenarnya. Dan saya sudah coba mempraktikkannya. Hanya saja dulu saya belum sampai tahap menentukan batas-batas dan membantu memecahkan masalah. Jadi saya hanya menerima emosinya, berempati, dan memberi nama pada emosinya. Setelah itu, bila anak masih menangis, atau marah, saya bingung harus gimana. Lalu biasanya saya alihkan pada hal-hal yang menyenangkan bagi anak. Misal ditawari makanan, ditawari pergi ke suatu tempat, dll. Manjur sih, tapi sebenarnya emosi anak kan belum selesai. Dan dia tidak belajar untuk memecahkan masalah dan mengatasi emosinya.

Setelah membaca buku Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional ini, saya jadi tahu tahap penting selanjutnya. Dan beberapa kali saya berhasil melakukannya sampai anak memecahkan masalahnya sendiri. Adakalanya anak masih bingung harus bagaimana, jadi saya coba tawarkan solusi. Terkadang belum sampai tahap membantu menemukan pemecahan, anaknya sudah move on duluan (misal ngacir denger suara domba lewat 😂). Tapi yang saya rasakan sih, memang dia jadi cepat move on. Jarang sampai nangis berkepanjangan, atau tantrum parah.

Ini salah satu contoh percakapan saya dengan Salma yang saya berhasil memvalidasi sampai membantu memecahkan masalah. 

Ceritanya, Salma bangun tidur siang, biasa agak rewel kalau bangun tidur. Lapar, minta makan lauk terong seperti pagi harinya. Tapi terong habis, bahkan yang sudah mentah juga habis. Karena mintanya sambil nangis-nangis, saya hampir naik darah dan spontan langsung saya tawari lauk yang ada (ayam goreng). Makin menangis dia, karena keinginannya nggak bisa terpenuhi. Saya langsung ingat tentang validasi emosi ini, kemudian coba daya terapkan. 
Begini, 
"Salma laper ya, pengen maem lauk terong kaya tadi pagi? " kata saya. 
" Iya". Jawab salma singkat, masih sambil nangis
"Tapi maaf ya, terongnya sudah habis". 
"Nggak mau, mau terong". Nangis tambah kenceng. 
"Iya, mama juga pengennya ngasih terong buat salma, tapi terongnya habis". 
"Nggak mau". 
"Salma marah karna pengen terong tapi nggak ada?"
"Iya". 
"Salma pengen makan terong karna tadi pagi enak ya lauk terong? Trus sekarang kecewa ya karena terongnya habis? "
" Iya". 
"Tapi mama nggak mungkin masak terong karna terongnya habis. Maaf ya! "
" Iya". Udah agak reda tangisnya. 
"Trus gimana ya biar besok kita bisa makan terong lagi? "
" Beli". 
"Beli di mana? "
" Di pasar".
"Iya, siapa yang mau beli di pasar? "
" Salma". 
"Iya, trus sekarang Salma mau maem lauk apa dong kalo udah lapar? "
" Ayam, pake nasi". 

Selesai. Anaknya ceria kembali dan mau makan pakai lauk yang ada. Validasi emosi itu membantu anak menerima realita, bukan mengubah situasi.

Apa saya selalu berhasil sampai tahap membantu memecahkan masalah? Tidak. Pernah juga saya sudah menerima emosinya, menamainya, berempati, berusaha membantu pemecahan tetapi tetap menangis, marah. Butuh kreativitas, teknik komunikasi, dan jam terbang juga sepertinya ya dalam melatih emosi ini. Saya sendiri juga sedang berlatih, terus belajar, dan evaluasi ketika belum berhasil. Terus gimana kalau anaknya tetap nangis, marah, atau tantrum? Ya berusaha tetap kalem, ditunggu anak sampai tenang baru divalidasi lagi dan diajak komunikasi.

Lalu mengenai batasan. Ini biasa saya berikan ketika emosinya sudah mengarah ke menyakiti diri sendiri dan orang lain, misal memukul atau menendang atau merusak barang. Tentu saja ini harus segera dihentikan. "Boleh marah, tapi nggak boleh memukul, menendang, melempar barang". Bisa juga kita arahkan untuk menyalurkan energi marahnya dengan kegiatan yang tidak merugikan. Misal: "Kamu marah, rasanya pengen melempar sesuatu, menendang, memukul sesuatu. Coba kita salurkan energimu dengan mencoret-coret kertas, atau berlari-lari di halaman? Atau mau coba cara lain?"

Sebagai tambahan, saat memvalidasi emosi anak, untuk keluarga muslim bisa juga sambil mengenalkan kalimat toyyibah. Misalnya sedang marah diajarkan mengucapkan istighfar dan taawudz, saat senang mengucapkan Alhamdulillah, saat takjub mengucapkan Maasha Allah, saat takut mengucapkan hauqolah, dsb. Tapi tetap terima emosinya jangan disangkal. Misalnya saja saat anak takut dengan hewan tertentu. Alih-alih mengucapkan jangan takut, nggak perlu takut, dsb, cobalah terima emosinya. "Kamu takut ya sama ulat itu, takut digigit? Mama juga kadang takut. Gimana ya biar nggak takut lagi? Coba berdoa sama Allah Yang Maha Melindungi yuk". Lalu ajak mengucapkan kalimat hauqolah atau doa dengan bahasa yang dia pahami yang intinya meminta perlindungan pada Allah Yang Maha Melindungi.

Sebenarnya, selain belajar melatih emosi anak, orangtua juga dituntut untuk melatih emosinya sendiri. Karena, anak akan melihat bagaimana orangtua melepaskan emosi-emosi negatifnya. Kita melatih anak untuk menemukan batasan ketika sedang marah, tapi kita sendiri sering hilang kontrol seperti melempar barang, ngomel-ngomel, membanting pintu ketika marah (cung ☝️😫). Anak kan belajar dari apa yang dia lihat. 😖. Jadi PRnya dobel ya.


Sumber:

John Gottman, Ph. D. & Joan Declaire.1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdesan Emosional. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

http://www.cmindonesia.com/membesarkan-anak-tanpa-bentakan










Komentar

Postingan Populer