Lawu #1 (Tauma)

Hari Senin tanggal 31 Maret 2014 kan libur Nyepi. Itu artinyaa,,,, Looong weekend. Nggak Ada rencana mau bepergian sih sebenernya. Bahkan aku nggak tau kalo hari Senin libur. Taunya pas aku ikut Wibi ke kampusnya dan ketemu temennya,, daaan kita diajakin ndaki gunung, mumpung long weekend katanya. Aku sih mau bangeet. tapi begitu tau kalau mau ndaki ke gunung Lawu, aku agak ragu. Aku pernah sekali mendaki ke sana. Aku inget banget dulu, setelah pulang mendaki dari sana, aku pernah bilang untung udah sampe puncak, soalnya aku nggak mau balik mendaki ke sana lagi. kenapa? Dinginnya bedaa banget sama gunung lain yang pernah aku daki. Superr sekali dinginnya. Selain itu, kakiku yang sakit banget pas turun gunung, ditekuk aja susah, sakiit banget itu juga membuat trauma tersendiri, Pasalnya kita kan lewat jalur Cemoro Sewu yang jalanannya ditatani batu. Pas naik sih rasanya enak aja, banyak pijakan, nggak licin. Tapi pas turunnya, pijakan kaki ke batu2 itu membuat dengkul2 kita sakit, kaku2.

Tapi, akhirnya aku mau juga diajak mendaki ke sana lagi. Niatku dari awal nggak sampe puncak nggak papa, toh aku udah pernah kok. Kemudian aku teringat lagi memori2 pendakian waktu itu: kedinginan, dan kaki yang terseok2 menapaki jalanan tak berujung. Saat itu terlintas di kepalaku pengen menyerah aja, tapi mau gimana lagi, kalo nggak jalan pake kaki, mau turun pake apa coba. Akhirnya dipaksalah kaki2 ini, walau sering banget aku berhenti istirahat, krna kakiku nggak kuat. Mungkin di antara temen2 lain, kakikulah yang paling parah. Aku berjalan2 terseok2 paling belakang, sebentar2 berhenti, sementara temen yang lain sudah pada jauh di depan. Bukannya aku mau manja, tapi kakiku ini bener2 sakit, susah sekali untuk jalan. Dengkulnya ini lho, rasanya cenut2, susah ditekuk, jadinya kayak penguin kesasar di gunung. Kondisi saat itu sudah mulai petang, batre senter kami juga sudah pada habis. Nggak mungkin kita mau bermalam lagi di sini, dinginnya nggak kuaaat,. Mau nggak mau harus tetep jalan dan harus cepet2 karna takut kehabisan angkot.

 Seorang lagi temenku cewek, yang motoin



Oke, sebaiknya aku tuntaskan dulu ya cerita pendakian Lawu ku yang dulu (sekitar akhir tahun 2010).

Setelah sekian lama terseok2, kesakitan, hampir putus asa, sampai juga kita di bawah. Nggak mau berlama2 istirahat, kita langsung menuju tepi jalan untuk menunggu angkot. Sepertinya kita kurang beruntung, nggak ada angkot yang turun. Harapan tipis, kita nggak mau bermalam dan kedinginan lagi disini. Akhirnya ada sebuah mobil carry yang lewat. Kita mencoba 'ngendeg' dan meminta bantuan untuk mengantarkan kita sampai terminal tawang mangu. Untungnya bapak sopirnya baik banget, mau mengasihani kita yang memelas ini dengan memberikan tumpangan. Bahkan akhirnya bapak baik tsb mengantarkan kita sampai ke Stasiun balapan Solo, karena kemungkinan besar bus di terminal tawangmangu juga sudah habis.

 Puncak 3265mdpl. Hargo Dulimah


 ini juga masih di puncak

Sampailah kita ke stasiun Balapan Solo. sekitar jam 9 malam waktu itu. Dengan maksud mau naik kereta saja untuk ke pulang ke Jogja. Berbondong2 seperti gerombolan penguin menggendong carrier, kita jalan ke tempat pembelian tiket. Dan ternyata nasib kurang baik masih bersama kita. Kereta terakhir ke Jogja baru saja berangkat. Baruuu saja, bahkan keliatan pas lagi jalan tu keretanya di depan kita, sajak ngece.haha.. Kepancaall. Bingung dong kita. Akhirnya kita memutuskan untuk jalan ke terminal, dan mau pulang naik bus saja. Daripada nggembel nunggu kereta pagi di stasiun. Oh God,, cobaan apa lagi ini. Kakiku sayang, sabar ya, mari kita jalan2 malam menyusuri kota Solo menuju terminal,, kamu pasti bisa. Naik turun gunung aja bisa, masak cuma jalan2 di aspal yang datar nggak bisa. Kalau nggak gini, kapan lagi kita bisa jalan2 malam di kota Solo. Begitulah caraku menghibur kakiku yang berusaha protes.haha..

Nggak jauh beda dengan Jogja, di sini juga banyak angkringan. Kita berhenti di angkringan untuk istirahat sekalian makan dan juga minum jahe anget. Sambil menikmati suasana malam, kita mengobrolkan kejadian2 yang terjadi hari ini. Semua di luar rencana, di luar kuasa kita. Tapi inilah proses. Proses kita pulang ke rumah. Sebuah proses mencapai sesuatu/ tujuan/ hasil, terkadang lebih menarik dan berkesan dari pada hasil itu sendiri. Kata orang, hidup itu adalah proses. Jadi kalau kita tidak menikmati proses, berarti kita tidak menikmati hidup itu sendiri.

Setelah puas istirahat, kita harus mengayuhkan kaki2 kita lagi menuju tujuan selanjutnya: terminal. Jarak dari stasiun ke terminal mungkin dekat jika ditempuh dengan kendaraan bermotor. Tapi kalau dengan kaki? Apalagi kaki2 kaku dan dengkul yang susah ditekuk ini.. Nggak perlu dibayangkan, cukup dijalani saja. Tak kan lari terminal dikejar. Sampai juga kita di terminal. Untungnya kalo bus ada bus malam. Akhirnya kita numpak bus juga, dan bisa tidur dengan tenang di bus. Selama perjalanan aku tidur, karena memang capek sekali dan ngantuk. Sampai terminal Giwangan Jogja masih tengah malam. daan muncullah masalah selanjutnya. Soalnya kan jarak dari terminal Giwangan ke Bantul lumayan jauh. Sedangkan bus menuju bantul tentu saja nggak ada tengah malam buta gini. Percuma dong kita berjuang keras berjalan dari Stasiun Balapan ke terminal Solo buat bisa pulang ke Jogja, kalo ujung2nya pas udah sampe di Jogja kita tetep nggak bisa pulang ke rumah dan nggembel di terminal. Dan tentu saja nggak mau dong kalo pulangnya musti jalan kaki jugak..

Jalan satu2nya yang terpikirkan waktu itu adalah meminta bantuan salah seorang temen deket untuk menjemput di terminal. Walaupun nunggu lumayan lama, dalanglah bantuan itu. Tapi hanya satu orang yang bisa membantu. Terus gimana dong? Jadi temen yang njemput itu, mboncengin dua orang dari kita untuk diangkut ke Bantul. Sampai di bantul, ambil motor dan menjemput kita yang masih tertinggal di terminal. Dengan dua motor, satu motor untuk dua orang, dan membawa barang2, sementara motor yang satu buat bertiga dengan barang yang sudah berkurang.Sampai juga kita semua di Bantul. Karena tengah malam, nggak mungkin aku langsung pulang ke rumah. Kita semua nginep di gubug pramuka, dan pulang keesokan harinya..

Yaa begitulah ceritaku ke Lawu pertama kali, cukup berliku-liku tapi sangat berkesan. Panjaang juga ya ternyata ceritanya. Tadinya aku mau langsung aja ceritain pendakian Lawu yang ke dua ini. Tapi pengalaman pertama itu masih sangat membekas dan sepertinya menarik untuk kuceritakan. Untuk detil pas naik nya memang banyak yang terlupa. Justru pas turun dan perjalanan pulanglah yang sampai sekarang memang masih banyak yang ingat.

Penderitaan kaki yang luar biasa pada waktu turun, serta dingiin yang sangat menggigit itulah yang menimbulkan trauma, dan setelah itu memang tidak pernah terpikirkan untuk mau mendaki ke sana lagi. Sampai akhirnya ada ajakan dari temen Wibi untuk mendaki ke sana lagi. Di satu sisi, sudah nggak ada keinginan lagi naik kesana karena trauma itu tadi. Tapi di sisi lain, aku juga sangat ingin jalan2 atau naik gunung lagi, mengingat kita berdua (dg Wibi) seringkali merencakan jalan2 namun selalu gagal. Ya sudah akhirnya kita terima deh tawaran mendaki gunung Lawu itu. Sempet aku tanya, kenapa nggak gunung lain aja, kenapa harus Lawu. Ternyata karena ada beberapa temen yang rumahnya deket atau sejalur dengan Lawu.

Okelah, keputusan sudah bulat : LAWU. Segala kebutuhan kita persiapkan, terutama untuk menghadapi dinginnya udara Lawu. Bawa jaket doble, kaos kaki juga bawa serep, kaos tangan, SB bawa sendiri2, matras juga harus bawa masing2. Untuk tenda, temen kami sudah ada yang bawa. Dan akhirnyaa... Lawuu,, I am back.....


-to be continue-

Komentar

Postingan Populer