Screen Time, Yay or Nay?

Mungkin ini jenis 'mom war' kategori baru. hahaha. Yang saya bahas di sini lebih ke under 2yo ya. (eh, kalau dulu rekomendasi AAP tidak boleh terpapar layar samsek s.d usia 24bulan, yang terbaru s.d usia 18bulan saja)

Setiap keluarga pasti punya parenting style masing2. Setiap pilihan pasti sudah dipikirkan resiko maupun manfaatnya. Pun soal screen time ini.

Tahun 2016, menyesuaikan perkembangan dunia digital, American Academy of Pediatric (AAP), mengeluarkan panduan terbaru soal screen time. 
AAP mengeluarkan 5 poin rekomendasi untuk para orangtua: 
1. Untuk anak dibawah 18 bulan, dilarang menggunakan gadget dalam bentuk apapun, kecuali video-chatting. Sementara itu, orangtua dari anak yang berusia 18 bulan hingga 24 bulan yang ingin mengenalkan media digital, sebaiknya memilih program yang berkualitas tinggi. Dan jangan lupa dampingi si kecil saat menonton tayangan tersebut, sambil memberikan pengertian tentang tayangan yang sedang si kecil tonton. 
2. Bagi anak yang berusia 2 sampai 5 tahun, batasi 1 jam per hari, dan hanya untuk program yang berkualitas. Orangtua (masih) harus mendampingi anak, untuk membantu mereka mengerti seputar apa yang mereka lihat. Lebih bagus lagi jika mommies bisa memberikan gambaran nyata yang terjadi di sekitar mereka. 
3. Untuk anak yang berusia 6 tahun dan lebih, tentukan batas waktu mereka menggunakan media digital, dan tipe media yang digunakan. Dan pastikan, gadget tidak mengambil porsi waktu tidur, aktivitas fisik dan kebiasaan baik lainnya yang mendukung kesehatan si kecil. 
4. Ciptakan momen kebersamaan, tanpa gadget. Contohnya makan malam bersama, berkendara bersama. Atau cukup di rumah saja, berkumpul di atas tempat tidur. 
5. Membiasakan memiliki komunikasi rutin, tentang aturan main dan keamanan menjadi pengguna media online. Dan bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik, entah itu ketika berkomunikasi via media online maupun offline. Sumber: MommiesdailyAtau bisa dibaca di web resmi AAP.

Lalu, kenapa sih pemakaian screentime untuk anah di bawah 2th sangat dibatasi? Berikut alasan2nya saya ambilkan dari IG @rumah.dandelion , yang beberapa waktu lalu membahas soal screen time:
1. Belajar melalui perangkat elektronik sifatnya cenderung tidak langsung.   Misalnya anak belajar tentang es. Seberapapun menariknya gambar di layar, pengalaman inderawinya kurang menyeluruh. Anak tidak akan bisa merasakan sensasi dinginnya es di tangan, tak bisa mencium wangi es, tak bisa pula mengecap rasa es. Padahal semakin banyak inderayang terangsang, otak semakin berkembang optimal. bagi anak yang baru membangun skema tentang dunia (apa itu es, apa itu kucing, apa itu meja, dll) ia akan lebih banyak belajar melalui hal-hal konkret dan 3 dimensi.

2. Perangkat elektronik cenderung satu arah, anak sebagai pendengar pasif. Meski bisa mengeluarkan banyak suara dan seolah mengajak anak berbicara, namun tidak akan dapat merespon balik saat anak berceloteh. Misalnya bila tokoh di layar menanyakan apa warna es dan anak menjawab merah (padahal hijau), tokoh dunia maya itu tidak akan dapat mengoreksinya.
3. Menurunkan daya konsentrasi. Riset menunjukkan bahwa anak yang sering terpapar perangkat elektronik, justru menjadi mudah bosan dan sulit fokus. Saat screentime, anak terpapar stimulus yang kuat di indera visual auditorinya (penglihatan dan oendengaran). Sinar dan warna yang mencolok tampil terus menerus, gambar berganti dengan cepat. Saat anak ingin berpaling, muncul lagi tampilan baru yang membuat anak kembali melihat layar. Akibatnya anaka jadi kurang bisa mempertahankan perhatian pada permainan atau kegiatan sehari-hari yang "tidak sekuat" stimulus dari perangkat digital. Ada yang menyebut fenomena ini sebagai popcorn brain. Otak anak selalu mencari hal yang semakin lama semakin cepat dan menarik. Ia akan datar dan cepat bosan kalau "sekedar" diajak baca buku, main prosotan, menari bebasm menyusun puzzle/balok, atau kejar-kejaran di alam terbuka.
4. Minim Interaksi dengan orang lain. Kebanyakan perangkat elektronik bersifat individual, atau mempertemukan tapi tidak langsung (dunia maya).
Screentime yang terlalu sering membatasi kesempatan anak untuk berinteraksi tatap muka dan membaca bahasa non-verbal (ekspresi, nada suara). Padahal bagian otak yang bertanggung jawab utnuk memaknai situasi sosial sangat bergantung pada interaksi langsung dengan manusia lain.
Menurut studi, salah satunya dilakukan oleh UCLA Children Digital Media Center 2014, ada hubungan antara frekuensi screentime dengan masalah dalam hubungan sosial seperti sulit dapat teman baru, kurang paham cara interaksi yang baik, sulit kerja kelompok, kurang berempati, dan kurang mampu atasi konflik.
5. buat anak jadi lebih impulsif/ ga sabaran. Pernah lihat anak coba utk menggeser / menyentuh foto asli dan gambar di buku seolah itu touchscreen? Kemudahan akses perangkat digital dgn remote, klik, dan sentuh layar, dimana sentuhan jari membuat sesuatu terjadi (muncul gambar atau suara tertentu), membuat otak terbiasa mdapat sesuatu scr cepat. Dalam jangka panjang, kebiasaan screentime yg tll sering bisa membuat anak lebih impulsif, kurang sabar, dan kontrol dirinya lebih lemah. Saat dihadapkan pada masalah yg butuh penyelesaian bertahap, ia jd lebih mudah menyerah.
Kita pun gitu ga sih? Dulu jaman komunikasi masih pakai surat, bisa sabar nunggu 1-2 minggu. Skrg email/ wa tak terbalas 2 jam saja mungkin rasanya lamaa banget hehe

6. berdampak pada kesehatan, dan bukan hanya masalah kesehatan mata.
Saat menggunakan perangkat elektronik, anak cenderung pasif dan kurang bergerak, serta sering sambil makan snack. Ini meningkatkan potensi obesitas. .
Di samping itu, penelitian Zimmerman (2008) ekstra screentime di malam hari membuat lebih sulit tidur (berkaitan dgn hormon yg mengatur siklus tidur), terutama di awal pubertas. Anak jd tdk bs beristirahat dgn baik, dan berakibat kegiatan yg perlu dilalukan esok hari kurang optimal.

7. speech delay. Banyak yg mengatakan bahwa anak jd punya banyak kosakata krn menonton. Ya itu memang mungkin terjadi. Namun hasil riset menemukan bahwa ternyata, anak bisa dapat lebih banyak lagi kosa kata baru dengan baca buku bersama orangtua, daripada menonton. Bahkan ketika tv hanya jd suara background, bs menyebabkan keterlambatan bicara. Normalnya orangtua berbicara 940 kata per jam ketika sdg bersama batita. Namun ketika tv menyala, jumlahnya jadi menurun ke 770. Fewer words means less learning.
Perkembangan bahasa, sangat erat kaitannya dengan interaksi dua arah. Belajar menyampaikan apa yg kita maksud, juga mendengar. Skill itu sangat sulit dicapai tanpa praktek. Menurut penelitian Chonchaiya & Pruksananonda (2008), anak yang mulai nonton tv sebelum 6 bulan dan menonton lebih dr 2 jam sehari, beresiko mengalami keterlambatan bicara 6x lebih tinggi. 

 
Setelah membahas alasan pembatasan screentime, di akhir pembahasan disimpulkan bahwa co-viewing & balancing is the key! Mungkin agak ga realistis ya memang kl di jaman skrg anak sama sekali tdk terpapar screentime. Apalagi bila ayah ibu bekerja dan terkadang tdk punya pilihan lain utk menitipkan anak ke pengasuh lain. Jadi paling tidak, bila masih susaahhh utk membatasi durasi screentime, minimal usahakan anak didampingi. Saat didampingi, orang dewasa bs menceritakan ulang apa yg anak lihat dan dengar, bisa mengarahkan atensi anak ke benda/gambar yg sesuai, serta menyetop jika ada konten yg krg sesuai utk anak. Di samping itu, jgn sampai screentime menggantikan interaksi tatap muka anak dgn orang lain. 
 

Lalu, apa yg bisa ortu lakukan utk lebih bijak dlm pemberian screentime ke anak? Berikut tipsnya dari @rumah.dandelion :
1. Tetapkan aturan kapan dan berapa lama. Jika memang sulit sekali no screentime, lbh baik dibuat jdwal dan masuk ke rutinitas harian. Daripada weekdays sama sekali dilarang dan hanya boleh weekend, lbh direkomendasikan utk tiap hari tapi waktu lebih sedikit.
2. Tetapkan zona (waktu dan ruang) bebas screentime. Misalnya kalau lagi makan, di kamar tidur, atau saat ada tamu.
3. Jika memang hrs screentime, pilih yang lebih interaktif (contoh: tablet drpd tv). Interaktif disini maksudnya anak bs membuat sesuatu tjadi ya (misal dgn menyentuh, menggeser, atau memencet tombol/simbol tertentu), bukan interaksi dgn orang lain.
4. Pilih konten yang sesuai usia. Ingat, kartun bukan lgsg berarti diperuntukkan bagi anak-anak. Gunakan fitur-fitur safety, termasuk filter bahasa, kunci dan beri password shg anak tdk bs akses kapan saja.
5. Utk balita, jika tdk dpt mbatasi 1jam, gunakan ratio 1:5 (on screen: off screen time). Misal, utk 20 menit screentime, imbangi 100 menit kegiatan aktif (baca buku, main pura-pura, gambar, main lego, jln di taman, dll).
6. Sebaiknya tdk gunakan screentime sbg solusi supaya anak berhenti menangis/tenang. Ortu perlu membantu anak belajar cara kontrol diri/emosi di situasi sosial, serta belajar cari cara mengatasi kebosanan tanpa gadget.
7. Ortu membatasi pula screentime di depan anak. Children see, children do.

 
Nah, itu tadi di atas saya copy pembahasan soal screen time dari IG @rumah.dandelion. Sebenarnya saya sudah sering sekali membaca artikel, tulisan pengalaman dari ibu2 (yang mempunyai pengalaman buruk soal screentime) dan juga pendapat para pakar parenting termasuk Ibu Elly Risman soal pembatasan screentime ini. Bahkan diantaranya menyebutkan bahwa tidak ada manfaat sama sekali mengenalkan layar pada anak di bawah usia 2th. Beruntungnya rumah Dandelion membahas dan menuliskan efek dari screen time untuk anak <2th dalam bentuk poin2. Ini seperti kesimpulan dari berbagai artikel yang saya baca. :D
Lalu yang kami terapkan di rumah untuk Salma? Kami sengaja tidak memiliki televisi di rumah. Selain emak bapak juga nggak suka menonton tv, juga biar Salma juga tidak terpapar layar televisi dan tidak perlu pusing membatasi waktu menonton TV. Untuk HP, tablet dan komputer? Sampe usia Salma sekarang 13bulan, kami masih sepakat dan konsisten tidak mengenalkannya sama sekali. Tentu saja berdasar pertimbangan-pertimbangan di atas. Bagaimana caranya anak tidak terpapar layar? Ya kami buat kegiatan yang mengoptimalkan kontak fisik antara orangtua-anak. Pagi setelah bangun tidur, sementara emak melakukan kegiatan kenegaraan, Salma dipegang penuh oleh bapaknya. Kegiatannya antara lain memberi makan ayam, jalan-jalan liat sapi tetangga, jalan2naik motor, main perosotan di taman deket rumah, mainan building blocks, mewarnai (corat-coret ding :D). Setelah itu sarapan pagi, mandi pagi. Setelah mandi pagi kalau nggak ngantuk ya mainan sama emake. Kalau sama bapake banyakan mainnya outdoor, kalau sama emake mainnya banyakan indoor kayak nyanyi2, baca buku, kadang kalo emak lagi nggak males bikin ya main sensory, mainan air, kadang kalo lagi asyik mainan sendiri di luar (ngejar ayam, methiki godhong) emake bisa nyambi nyapu2 dan beberes. Nah saya ini termasuk emak2 yang agak malesan ya. Dapur kotor, baju bersih kering menumpuk, buku2 berserakan, kalau anak nggak bisa ditinggal ya nggak perlu risau nggak bisa ngerjain. Kan biasanya ibu2 ngasih anak gadget biar anak diem, bisa ditinggal ngerjain kerjaan rumah. Kalo aku mah, nggak sempet dikerjain ya udah, toh suami jg nggak bakalan protes. hahaha..
 
Jam 9an biasanya tidur, nggak tentu, kadang cuma stengah jam, kadang bisa sampe1,5-2 jam. Jam istirahat siang, Bapake selalu pulang karna jarak kantor deket. Pas ada bapake, emak bisa makan, mandi, njemur baju, dll. 
 
Yah, kalau mau dibikin poin2 sih, intinya yang kami lakuin untuk menghindari gadget/screentime adl:
1. nggak perlu maksain semua kegiatan rumah harus beres. Selow aja. hahaha..Toh kewajiban utama kita kan mendidik, mengasuh anak, bukan melakukan pekerjaan rumah tangga yang nggak ada habisnya kok (bener nggak sih). 
2. Coba deh, beli buku tentang inspirasi bermain di rumah, misal buku Rumah Main Anak. Jadi kita punya banyak ide untuk bermain edukatif dengan anak, yang nggak sekedar bermain, tetapi juga bermain yang ada manfaat dan tujuannya. Kalau banyak referensi kegiatan dan permainan untuk anak, kita nggak akan kehabisan ide untuk bermain, sehingga nggak ada waktu untuk mengenalkan anak dengan layar.
3. Beli buku-buku bacaan anak. Selain untuk mengisi kegiatan anak di rumah, membacakan buku tentu banyak manfaatnya. Bisa buat bonding antara ortu-anak, penenanaman nilai2 ke anak, mengenalkan dan membiasakan kegiatan membaca agar anak cinta membaca. Selain itu banyak buku2 untuk pengenalan misal hewan, warna, bentuk, buah2an, dll jadi nggak perlu mengenalkannya via gadget.
4. Kerjasama dengan bapake sangat dibutuhkan. Tanggungjawab pengasuhan bukan hanya pada ibu, tapi juga pada bapak. Di saat ibu melakukan pekerjaan rumah tangga, minta bapak untuk menghandle anak. Ibu bisa bekerja dengan tenang, bapak punya waktu bonding dengan anak. Ini kalau saya, kalau anak nggak bisa ditinggal sendiri ya sudah, pekerjaan rumtang dilakukan nanti kalau sudah ada bapake, nggak ada acara ngasih anak gadget biar anteng.
 
Itu tadi beberapa cara yang kami lakukan untuk menghindari anak dari gadget. Kami memang berkomitmen untuk tidak mengenalkan anak pada gadget sampai usia minimal 2 tahun. Dengan menimbang manfaat dan mudhorotnya. Kami memandang belum ada manfaatnya mengenalkan gadget untuk saat ini. Lalu selanjutnya kapan akan mulai mengenalkan, lalu durasinya berapa lama,, kami juga belum tahu pasti. Masih kami pikirkan dan diskusikan. Yang jelas, untuk urusan gadget ini, kami memegang prinsip better late than early. :D
 
Tetapi saya juga nggak akan ngejudge orang tua yang telah mengenalkan gadget sejak sebelum 2 tahun. Sekali lagi, setiap keluarga pasti mempunyai parenting style sendiri. Keadaan setiap keluarga juga tidak dapat disamakan. Saya bisa begini karena saya hanya ibu rumah tangga,anak baru satu, suami saya kantornya dekat, jarak hanya skitar 10-15menit perjalanan. Jadi berangkat kerja dan pulang kerja tidak membutuhkan waktu lama. Jam istirahat siang bisa pulang bantu2 saya di rumah. Tentu akan berbeda keadaanya dengan ibu bekerja; LDM;  suami yg tuntutannya tinggi, rumah hrs bersih rapi; IRT yang suaminya jam kerjanya tinggi berangkat pagi pulang malem tanpa ART; anak banyak; dll dsb. Intinya kita yang tahu bagaimana keadaan rumah tangga kita. Sebelum memutuskan sesuatu, sebagai orang tua tentunya kita pasti telah menimbang baik buruknya untuk anak. Dalam hal ini, setelah menimbang efek2 buruk dari screentime, tentu kita tidak akan sembarangan dalam memutuskan. Kalaupun tidak bisa sama sekali no screentime, buatlah peraturan2 untuk meminimalkan resiko/keburukan dari screentime.


Jadi kesimpulannya, untuk screentime (under 2yo) adalah NAY. :D :D


Menjadi orang tua memang tidak boleh berhenti belajar. Di zaman sekarang ini, di mana informasi  dengan sangat mudahnya di dapat, rugi apabila tidak memanfaatkan untuk mencari ilmu. Jangan melulu nurut kata orang jaman dulu. Banyak yang sudah tidak sesuai zaman lho. Buang yang buruk, ambil yang baik. Tetapi juga jangan terlalu mudah percaya sama berita hoax juga ya. Kenali ciri2 tulisan hoax. Beberapa waktu lalu saya sempat ikut kulwap soal berita hoax ini. Kalau materinya masih tersimpan, kapan2 saya share. :D
 
 








Komentar

Postingan Populer